Angin malam saling berebut menghempaskan diri ke dinding, dari jauh tampak seorang laki-laki sedang meratapi kehidupnya. Ada gerangan yang menghambat dan mengacaukan segala yang menjadi kebahagiannya. Sebuah lingkaran hidup yang seharusnya dapat membuatnya nyaman dan tentram, terpaksa membuatnya tegar akan lingkaran yang tidak pasti. Entah masalah dari dalam atau dari luar, semuanya ia telan begitu saja dengan hati yang tegar.
Terkadang pernah berjumpa dengan sebuah gerombolan yang melayangkan kekesalannya kepada korbannya yang dianggap sebagai kambing hitam. Masalah yang sepele bisa menjadi wahsyana karena banyaknya masa pendukung yang tidak interopeksi. Inilah tragedi atas mengkritisi tanpa intropeksi. Ia tetap menerimanya tanpa adanya pembelaan yang berarti, sukarela dijadikan bidikan dan sasaran.
Belum lagi kondisi yang dirasa belum tentu kondusif, tapi ia berusaha untuk bisa kondusif. Ditengah perkembangan arus, dirinya berusaha tidak menjadi apatis, bahkan seakan menolak mengikuti arus, ia ingin menjadi manusia yang merdeka.
Cercahan, ocehan, kritikan, kerapkali menusuknya dari dalam dan dari luar. Namun ia tetap tegar menerimanya karena ini mungkin sudah jadi jalan yang dikehendaki Tuhan. Iya dan pasrahkan saja kepada Sang Pencipta. Sesungguhnya ia ingin mencintai musik seutuhnya, namun apalah daya... ia hanya bisa mengadu lewat goresan penanya yang kusam karena air mata dan darahnya.
Dirinya telah sabar menahan dan menerimanya dengan lapang dada. Bahkan, segala kesusahan hingga penderitannya berusaha ia sembunyikan dari orang-orang agar mereka tidak iba dan sedih karenanya. Sesaat ia diam-diam menjauhi dan menyendiri di sudut sepi, dimana ia mulai meneteskan air kesabaran hatinya kedalam kain baju yang dikenakannya. Berusaha menguatkan seorang diri tanpa ada yang mengetahui dan menemani.
Menulis telah menjadi obat untuk menenangkan hati dan pikirannya yang kerapkali dibuat stress akibat terlalu banyak pikiran dan kritik pedas tanpa intropeksi yang bertubi-tubi menusuk hatinya. Ia mungkin membecinya, tapi apakah kamu mengerti kisah perjalanan sunyi ini... Tanda tanya yang tertutup.
Untuk apa harus membuka suara bila apa yang diucapkan berakhir dengan pembungkaman. Hak suara yang sia-sia direnggut oleh kediktaktorannya. Atau mungkin cocok disematkan julukan, “Yang Maha Benar Segalanya”... Semua yang diucapkannya tiada yang bisa menyangkal dan harus terpenuhi. Suara pena hanyalah imajinasi belaka, dengan pena ia bertutur dari kemalangannya.
Entah kapan kisah miris ini akan usai, ia ingin meninggalkan tempatnya saat ini dan ingin memulai kehidupannya yang baru, segalanya yang terbebas dari belengu ditaktor. Meski pendengarannya sedikit terganggu, namun tulisan penanya bisa lebih tajam dari kata-kata yang terucap lewat lidah.
Tak ada siapapun yang mengerti selain pena yang menjadi tempat catatan kisahnya. Semuanya berlalu begitu saja tanpa alasan yang pasti. Kelopak matanya memaksakan agar si air mata tidak gampang terjatuh bila telah lelah diri ini dengan segala kisah runyamnya. Bahasan yang cukup sampai disini dan enggan dibuatnya panjang lebar, takut kisah ini berlarut-larut. Dan hari esok adalah hari yang menyenangkan, percayalah, apapun itu...
Komentar
Posting Komentar