Langsung ke konten utama

Aktivis Mahasiswa : Penulis yang (Mungkin) Terasingkan


Setiap manusia telah ditakdirkan jalan hidupnya, terlebih bagi mereka yang menganut paham agama, seperti yang dikatakan dalam kitab-kitab, setiap manusia yang dilahirkan di dunia oleh Pencipta-Nya telah diberi garis perjalanan hidup. Setiap manusia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, serta memiliki potensi-potensi yang mungkin menjadi keahliannya. Setiap orang memiiki prinsip hidup atau paham filosofi yang dianutnya.

Mahasiswa merupakan agen perubahan, baik perubahan untuk dirinya sendiri maupun menjadi tombak perubahan organisasi hingga tanah air yang ia cintai, yang ingin ke arah yang lebih baik lagi. Sayangnya, tidak semua mahasiswa memiliki rasa semangat perjuangan aktivis mahasiswa, semangat muda seperti para pejuang mahasiswa pendahuiunya yang berjasa memerdekakan bangsa dan mereformasi bangsanya untuk lebih demokratis dalam ketata-negaraan.

Aktivis mahasiswa adalah mereka yang memiiki jiwa sosial yang tinggi, peka terhadap lingkungan sekitar, idealis dan independen, dan tak ragu dalam bertindak bilamana terjadi ketimpangan serta berani mengambil sikap terhadap situasi apapun itu, bukan terjebak dan mengikuti arus. Merdeka hak dan kewajiban adalah suatu perkara yang harus diperjuangkan.

Dulu kita mengenal para tokoh pemuda yang intelek, sebutlah Soekarno, Moh. hatta, dan lain sebagainya. Para kaum muda intelek ini tidak menyia-nyiakan ilmunya dan menggunakannya untuk berjuang mengusir para kolonialisme dan imperialisme penjajah di negerinya. Perjuangan mereka tidaklah sia-sia berkat semangat juang mereka hingga oleh negaranya sendiri mereka diberi gelar pahlawan bangsa. Mulai ke zaman antara orde lama dan orde baru, kita kembali menemukan sosok mahasiswa dengan semangat mudanya, aktivis mahasiswa yang berasal dari Universitas Indonesia, Soe Hok Gie, atau lebih dikenal dengan nama Gie.

Gie merupakan icon mahasiswa yang kritis dengan keadaan sosial disekitarnya, ia melawan jika terdapat ketidakbenaran dan ketimpangan di mana-mana. Menjadi aktivis mahasiswa adalah pilihan hidupnya saat menjadi mahasiswa. Dengan semangat mudanya, ia melawan tanpa menggunakan senjata seperti pejuang mahasiswa sebelumnya yang kini mendapat gelar pahlawan bangsa, namun Gie berjuang lewat pemikiran kritisnya yang dituangkan dalam tulisan. Berbeda dengan teman aktivisnya yang berjuang lewat demonstrasi, mengumpulkan massa dan menyerbu gedung-gedung pemerintahan. Namun ada kalanya Gie terlibat dalam demonstrasi mahasiswa, tapi tidak pernah Gie berdiam di barisan depan berhadapan dengan barisan tentara dan polisi melainkan dirinyalah yang menjadi otak strategi dari demonstrasi mahasiswa.

Perjalanan panjang gerakan aktivis mahasiswa begitu jaya dan kritis di era orde lama dan orde baru, gerakan dari para pemuda intelek yang sangat berpengaruh di zaman tersebut hingga menjadi tombak awal yang berhasil mereformasikan tata pemerintahan di Indonesia. Ingatlah akan kata Soekarno, Jas Merah, Jangan sekalipun melupakan sejarah. Gie memegang teguh prinsip hidupnya, seperti yang ia katakan “Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan”.

Di zaman sekarang ini, sudah tak lagi terlihat sosok pemuda yang kritis bahkan jarang dan jikalau ditemukan seorang yang berjiwa aktivis mahasiswa, pastinya langka. Zaman setelah reformasi bisa dibilang titik awal revolusi mental, baik revolusi di bidang ekonomi, sosial, politik, hingga revolusi di bidang pendidikan. Para penguasa telah mengubah aturan dan tata cara di dunia pendidikan untuk lebih mengutamakan knowledge daripada memperhatikan skill ataupun potensi setiap peserta didik. Lantas semua dipukul rata dengan kurikulum yang setiap zamannya berubah-ubah yang katanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Mahasiswa kini cenderung lebih ditekankan pada kegiatan akademik demi meraih nilai terbaik di ijazahnya ketimbang harus bergabung di organisasi. Padahal dari organisasilah pengalaman dan skillnya akan berkembang, tentunya bermanfaat untuk dirinya kelak saat mengabdi kepada masyarakat. Kompetisi di dunia akademik di antara mahasiswa seperti inilah yang memberi keuntungan bagi kampus untuk mempromosikan kepada calon mahasiswa betapa hebatnya kampus itu. Bagi yang pernah membaca tulisan Gie, saya rasa tidak perlu menjelaskan penjang lebar lagi tentang aktivis mahasiswa. Jika belum, bacalah.

Tidak semua manusia dikaruniai bakat menulis, seperti yang disinggung di paragraf pertama. Namun bagi mereka yang memiliki bakat menulis, tentu memiliki caranya masing-masing dalam mengekspresikan isi hati dan pikirannya. Bagi mereka yang merupakan aktivis mahasiswa, kemampuan menulis menjadi keistimewaan tersendiri karena dari tulisanlah, seluruh gagasan dan ide dari buah pemikirannya tertata rapi dalam setiap tulisannya. Lewat tulisanlah, pembaca diarahkan untuk ikut berpikir kritis akan fenomena yang dirasakan penulis. Tulisan merupakan senjata yang ampuh untuk mempengaruhi pembacanya dan untuk menyikapi dialetika kehidupan yang kian hari tidak jelas akan akhirnya.

Semua aspek kehidupan ikut berkembang sesuai perubahan zaman. Kini manusia berada di zaman digital, dimana semua kegiatan serba simpel dilakukan di gadget. Buku-buku telah mulai ditinggalkan dan beralih ke e-book, koran dan majalah sepi pembaca karena berita kini sudah bisa diakses di internet. Dampak dari zaman digital ialah sepinya pengunjung perpustakaan akibat laju informasi yang sudah bisa diakses dengan sekali klik di telepon pintar, sisi buruknya memudarnya budaya literasi di anak-anak masa kini, sehingga berpotensi terkena penyakit buta aksara. Namun sisi baiknya, melek informasi lewat gadget, itupun bagi mereka yang memiliki gadget.

Bagaimana jika apresasi anak bangsa terhadap sebuah karya tulis dipandang rendah, penulis tidak lagi dapat memberikan pengaruh lewat tulisannya bilamana tulisannya sepi pembaca. Ini yang disebut darurat budaya membaca jika generasi penerus bangsa sudah terlena dengan benda yang serba praktis, tapi saya acungi jempol bagi mereka yang bisa memanfaatkan benda canggih dengan kegiatan yang positif.

Mungkin tulisan seorang aktivis mahasiswa dapat memberikan pengaruh bagi yang membacamya, tapi bagaimana jika dalam kehidupan kampusnya ia seperti orang yang terasingkan namun tulisannya begitu produktif? Salah satu penyebabnya ialah dimulai dari pengaruh buruk perkembangan digital dan kehidupan kelas yang terkotak-kotak. Rasa indvidualisme, memilah memilih kawan, mudah terjebak dalam arus, dan tidak memiliki jiwa aktivis mahasiswa, sehingga mahasiswa yang kupu-kupu (kuliah-pulang kuliah-pulang) hanya berorientasi pada nilai akademiknya ketimbang harus lelah mengikuti organisasi sehingga maklum jika mahasiswa jenis ini cenderung mengikuti arus, bergeng-geng, dan luntur jiwa kepekaan sosial, loyalitas, dan idealis yang harusnya terdapat dalam jiwa mahasiswa. Seperti yang dikatakan Gie, Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi.

Dari berbagai macam kemelut di dalam kelasnya inilah yang membuat para penulis mahasiswa memilih merdeka dalam bersikap, berpegang teguh pada prinsipnya, meski tidak ada kawan yang mau berjuang bersamanya. Lewat tulisan juga seorang aktivis mahasiswa mencurahkan isi hati dan pikiran kritisnya atas peristiwa yang terjadi dilingkungannya. Seperti Gie yang berkeluh kesah dan prihatin terhadap kondisi disekitarnya lewat catatan hariannya. Inilah yang membuat para penulis aktivis mahasiswa saat ini cenderung lebih tidak banyak berbuat dan hanya memerhatikan alur kehidupan dan berjuang lewat pena-penanya. Berharap meski dirinya bukan orang yang berpengaruh di kelas, namun lewat tulisan-tulisan dapat menjadi kontribusi dan pengaruh baik bagi pembacanya dalam menyikapi perubahan zaman yang (sebenarnya) kejam ini.

Mungkin teman kelasnya menilai si penulis ini bukan orang yang berpengaruh di kelas, namun penulis ini berpengaruh dan terkenal di luar kampusnya lewat tulisannya. Maklum jika para penulis aktivis mahasiswa cenderung tidak hanya berorganisasi di internal kampus, namun juga di eksternal kampus. Bagi pemuda umumnya, revolusi berarti tantangan untuk mencari nilai-nilai baru. Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar terimalah dan hadapilah. Gie pun memutuskan dirinya akan bertahan dengan prinsip-prinsipnya. Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan. Hanya ada dua pilihan: menjadi apatis atau mengikuti arus. Tapi, aku memilih untuk jadi manusia merdeka (Gie, Catatan Seorang Demonstran : 96).

Menyikapi keadaan yang keberpihakkan, lantas para penulis menyatukan dirinya dengan alam. Explore, naik gunung, mengunjungi bangunan zaman dulu telah menjadi hobi para penulis. Menyatukan diri dengan alam untuk sekedar melepas penat dan lelah, menilai diri sendiri dan mengevaluasi berbagai macam suasana yang begitu tidak bersahabat. Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.

Penulis yang (hampir) terasingkan oleh temannya sendiri, begitu berjasa tulisannya. Yang mungkin seharusnya menjadi kebanggan kelas dan menjadi orang yang berpengaruh di kelas, justru sebaliknya dikarenakan alasan norma sosial yang berlaku atau rasa memiih teman menjadikan sebuah kesatuan yang terkotak-kotak. Semestinya harus ditanamkan jiwa sosial gotong royong dan Bhinneka Tungga Ika dalam kehidupan akademik. Tidak berbicara tentang aku atau kamu, tapi berbicara tentang kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ekspedisi Pelosok Priangan Timur

Tugu Siliwangi, berada di perbatasan provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah “Esa Hilang, Dua Terbilang”, wangsit Prabu Siliwangi Mendengar kata tersebut, mungkin tidak asing lagi ditelinga masyarakat Jawa Barat. Konon, Jawa Barat yang pada zaman dahulu merupakan Kerajaan Pajajaran dan Galuh yang salah satu raja termahsyurnya pada saat itu ialah Prabu Siliwangi. Kisah ini telah menjadi kisah turun temurun masyarakat Jawa Barat. Legenda itu menguat diwilayah priangan timur.  Dari kisah tadi membuat saya tertarik untuk menjelajahi alam Priangan Timur, ditemani rekan Backpacker, Kang Adam Akbar. Kami berdua sepakat untuk explore di hari Jum'at, 16 Februari 2018 dan perjalanan pun dimulai sekitar pukul 09.00 wib dari STIKes Respati, Tasikmalaya dengan tujuan menuju ke perbatasan Jawa Barat-Jawa Tengah. Explore adalah kegiatan yang biasa saya lakukan untuk mengisi waktu kosong atau disaat liburan semester tiba (itung-itung refreshing setelah berperang dengan UAS). Dengan memb

Ngopi-isme

Ilustrasi : @radenyudistira09 (dokpri) Kegiatan Ngopi dikalangan kaum intelektual bukanlah sebuah hal yang baru, namun telah menjadi sebuah kebutuhan dalam menyusun wacana hingga ke penyelesaian masalah. Ngopi disini bukan berarti kegiatan duduk manis kemudian menyeruput secangkir kopi sembari menghisap sebatang rokok, melainkan ngopi yang dimaksudkan ialah kegiatan diskusi (Ngopi = Ngobrol Pintar). Kegiatan ngopi dapat dijumpai di ruang kelas, perpustakaan, kantin, masjid, ruang keseketariatan ormawa, hingga ruang terbuka seperti taman. Betapa besarnya peran dari ngopi sendiri sebab berbagai pemikiran dan gagasan banyak dilahirkan disini. Bagi mereka yang menasbihkan dirinya sebagai seorang aktivis, organisator, kura-kura (kuliah-rapat, kuliah-rapat) kegiatan ngopi merupakan hal yang lazim ditunaikan dimanapun berada selama ada lawan bicara. Sajian ngopi cenderung lebih nikmat jika ditemani cemilan, misalnya ditemani secangkir kopi (tanpa rokok; bagi mereka yang taat kepada kes

Malam Minggu Dengan Beethoven

Malam ini adalah malam minggu Hal yang di tunggu setiap seminggu Membebaskan diri dari rutinitas Yang menjerat pula terbatas Para kaula muda berhamburan Menikmati malam yang anggun Untuk merasakan atmosfer Hiruk pikuk di malam teaser Ku hanya bisa berdiam diri Di pusara malam minggu ini Alunan komposisi beethoven Menjadi lentera di kesunyian Sinar cerah purnama di angkasa Membuat bagi yang lihat terpana Moonlight sonata Beethoven mendayu Menemani sunyinya malam minggu Melodi adagio terus meraya Rasa sukma terpilin olehnya Di rasa sendiri dan ada kawan Malam minggu dengan Beethoven Tasikmalaya, 14 Oktober 2017               Salam Sajak,             Ahmad Yudi S